Download versi cetak: 1237KebaktianPagi_2025-09-Nov
Ibadah sebagai Pujian kepada Allah
Mazmur 150
Pdt. Hendra Wijaya, M.Th.
*Ringkasan khotbah ini belum diperiksa pengkhotbah
Di pasal 1 sampai 4 kita telah melihat bagaimana Kohelet atau si Pengkhotbah itu mengatakan bahwa segala sesuatu dalam hidup di bawah matahari ini adalah sia-sia. Jerih payah manusia, hikmat manusia semuanya sia-sia dan seperti uap. Kesenangan bahkan politik sekalipun semuanya sia-sia. Memasuki pasal kelima Kohelet juga mengatakan bahwa kadang ibadah pun bisa menjadi sesuatu yang sia-sia. Datang ke rumah Allah beribadah menjadi sesuatu yang sia-sia jikalau itu dilakukan dengan hati yang tidak takut akan Allah. Itulah yang seringkali membuat gereja menjadi terasa tidak relevan bagi banyak orang. Mereka hanya melihat ritual-ritual kosong di gereja yang dilakukan oleh manusia demi agenda manusia di atas bumi ini saja. Mereka tidak bisa melihat bahwa ada Allah yang suci, adil dan besar, yang hadir di dalam ibadah ini. Allah yang berbicara kepada kita melalui firmanNya dan Allah mendengarkan doa kita.
Kitab Mazmur di dalam tradisi Reformed dikenal bukan sekadar kumpulan tulisan puitis tentang doa, melainkan sebuah biografi yang berisi mengenai kerohanian perjalanan jiwa setiap manusia. Kitab Mazmur dimulai dengan membicarakan mengenai kebijaksanaan dalam Mazmur pertama, yaitu unsur dasar yang diperlukan setiap manusia dalam memilih dan mengambil keputusan untuk hidup berbahagia di hadapan Tuhan Allah. Dari pembicaraan mengenai kebijaksanaan, pemazmur bergerak maju melewati berbagai pergumulan, ratapan, pengakuan dosa, dan pengharapan. Kitab Mazmur menuntun kita untuk mengakhiri seluruh biografi perjalanan jiwa manusia ini dengan sebuah kresendo, yaitu mengajak seluruh alam semesta untuk menaikkan pujian kepada Allah sang pemilik alam semesta.
Secara umum, struktur seluruh kitab Mazmur merupakan sebuah pergerakan dari pergumulan menuju berkat, dari pengasingan menuju pemuliaan, serta dari keheningan menuju pujian. Mazmur 150 menjadi klimaks dari doksologi yang menyerukan ajakan kepada seluruh ciptaan untuk memuji Tuhan Allah atas segala perbuatan dan karya tangan-Nya yang dahsyat. Dari sudut pandang sastra dan teologi, Mazmur 150 sekilas tampak memiliki tema yang serupa dengan mazmur-mazmur lainnya, khususnya Mazmur 146 hingga 149. Kelima mazmur tersebut ditandai oleh satu motif yang sama, yaitu dengan kata Haleluya. Namun demikian, Mazmur 150 memiliki keunikan tersendiri yang tidak ditemukan pada mazmur-mazmur lainnya. Kita tidak menjumpai motif permohonan, ratapan, ataupun pengakuan dosa. Yang terdapat di dalamnya hanyalah syair yang sepenuhnya berisi pujian kepada Tuhan Allah.
Apa yang membedakan doa orang Kristen dengan doa orang yang bukan Kristen? Perbedaan yang mendasar antara doa orang Kristen dan doa orang bukan Kristen adalah doa orang Kristen tidak pernah dimulai dengan permintaan, petition, tetapi selalu dimulai dengan pujian, adoration, dan penyembahan kepada Tuhan Allah. Inilah ciri paling penting dari semua doa orang Kristen. Namun, aspek ini sudah sangat jarang kita temukan, terutama di dalam persekutuan doa kita. Kita sangat tidak terbiasa, bahkan merasa asing dengan doa yang sama sekali tidak ada permintaan kepada Tuhan, tetapi hanya doa yang memuji dan terus memuji Tuhan Allah.
Mengapa saya katakan demikian? Karena kalau kita mau dengan jujur menghitung berkat dan kesetiaan pekerjaan Tuhan di dalam hidup kita, maka kita tidak akan pernah bisa cukup untuk memuji Tuhan. Kita tidak akan sempat untuk meminta atau mengeluh, karena dengan memuji Tuhan, kita disadarkan akan kebesaran, kuasa, kesetiaan, dan kasih setia Tuhan kepada kita. Kita tentu percaya bahwa Tuhan mengerti seluruh kesulitan hidup kita, sehingga sekalipun kita tidak meminta, Tuhan sudah menyediakan bagi kita. Ini tidak berarti kita tidak perlu meminta atau kita sengaja tidak mau meminta. Bukankah Yesus juga mengajarkan kepada kita untuk meminta kepada Bapa di Surga? Namun, permintaan bukan menjadi pusat dari doa kita. Ketika kita memuji Tuhan, ketika kita meninggikan Tuhan, maka kita akan dibawa untuk melihat segala kemuliaan Tuhan Allah di hadapan kita. Keunikan lain di dalam Mazmur 150 adalah terdapat pengulangan paling sedikit 13 kali dari kata Ibrani ‘Halelu’ atau ‘Haleluhu’, yang berarti pujian atau pujilah Dia. Inilah mazmur ibadah, puncak dari liturgi, tarikan napas terakhir sang pemazmur yang sepenuhnya diisi oleh seruan pujian kepada Tuhan Allah. Kata ‘Haleluya’ tersusun dari dua kata Ibrani, ‘Halelu’, yang berarti pujilah dan ‘Yah’, kependekan dari Yahwe. Kata ini bukan sekadar ajakan, tetapi juga mengandung konotasi perintah. Terlebih dari itu, kata ini bukanlah perintah yang bersifat pribadi, melainkan bersifat komunal. Di dalam Linguistik, kata ini disebut sebagai bentuk kata tindakan komunikatif, yaitu kata yang bersifat menggerakkan. Kata ini menggerakkan seluruh tempat kudus Allah, menggerakkan cakrawala, menggerakkan setiap alat musik, dan menggerakkan segala yang bernafas untuk bersama-sama memuji Tuhan.
Pujilah Allah di tempat kudus-Nya, pujilah Dia dalam cakrawala-Nya yang kuat! Ada dua tempat yang perlu kita perhatikan di dalam ayat ini, pertama, tempat Kudus-Nya, kedua, cakrawala-Nya yang kuat. Kata tempat kudus-Nya dalam bahasa Ibrani adalah bəqāḏəšōw. Ini mengingatkan kita akan ruang maha kudus dalam bait Allah di Yerusalem, tempat yang paling inti dari ibadah daripada orang Israel. Kata yang kedua, cakrawala-Nya yang kuat. Kata Ibraninya adalah birqîa‘. Ini mengingatkan kita akan cakrawala, yaitu bentangan langit yang teramat luas, tempat Allah membentangkan segala kemuliaan dan kuasa-Nya yang dahsyat. Hal ini mengingatkan kita bahwa ibadah orang Kristen adalah ibadah yang bersifat spasial di bumi, juga sekaligus ibadah yang bersifat kosmik. Tempat kudus Allah adalah tempat di mana Allah bertemu dengan umat-Nya. Langit yang kuat adalah tempat Allah membentangkan kuasa dan kedaulatan-Nya atas seluruh alam semesta.
Di dalam tradisi Perjanjian Lama, istilah tempat kudus-Nya mengingatkan bangsa Israel akan Kemah Suci, sebagaimana tercatat dalam Keluaran pasal 25 hingga 40, yang kemudian berkembang menjadi Bait Allah di Yerusalem, sebagaimana dicatat dalam 1 Raja-raja pasal 6 hingga 8. Kedua tempat ini memiliki makna yang nyata dan bersifat fisik, yaitu tempat di mana Tuhan Allah hadir dan menyatakan diri-Nya kepada umat-Nya. Namun, Raja Salomo melihat hal ini dan dia bertanya, “Tetapi benarkah Allah hendak diam di atas bumi? Sesungguhnya langit, bahkan langit yang mengatasi langit, tidak dapat memuat Engkau” (1 Raja-raja 8:27).
Di dalam Perjanjian Baru, Yesus memberikan pengertian yang baru mengenai hakikat hadirat Allah yang kudus dan makna sejati dari Bait Allah. Ia merujuk kepada diri-Nya sendiri, kepada kematian dan kebangkitan-Nya, sebagaimana tercatat dalam Yohanes 2:19: “Rombaklah Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.” Rasul Paulus bahkan menyebutnya sebagai kumpulan orang percaya, umat yang telah ditebus di dalam Yesus Kristus, itu adalah Bait Allah, dan bahwa Roh Allah itu diam di dalamnya (1 Korintus 3:16).
Pada masa kita sekarang, tempat kudus Allah atau Bait Allah tidak lagi terbatas pada sebuah bangunan fisik. Bait Allah kini adalah gereja, yaitu persekutuan orang-orang percaya di dalam Yesus Kristus, yang juga disebut sebagai tubuh Kristus, tempat di mana Roh Kudus berdiam di tengah-tengah umat-Nya. Namun, seluruh bentuk fisik dari tempat ibadah, baik itu gereja, Bait Allah, maupun Kemah Suci, pada hakikatnya hanyalah cerminan dan manifestasi dari takhta surgawi Allah, tempat para malaikat senantiasa berseru: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang” (Wahyu 4:8). John Calvin melihat perspektif ini dengan sangat mendalam. Ia menafsirkan ayat ini sebagai seruan bagi semua orang beriman untuk memuji Allah di tempat kudus-Nya, sekaligus meneruskan seruan tersebut kepada seluruh ciptaan agar turut menggemakan pujian kepada-Nya. Karena itu, menurut Calvin, ibadah tidak boleh dibatasi pada bentuk ritual atau lokasi geografis tertentu saja.
Setelah pemazmur selesai mengeksplorasi tentang ibadah dan puji-pujian, kini ia mengajak kita beranjak untuk mengeksplorasi motivasi di balik pujian kita kepada Allah. Mengapa kita harus memuji Allah? Apakah Allah membutuhkan pujian kita? Apakah kemuliaan Allah menjadi berkurang atau menghilang jika kita tidak memuji Dia? Apakah kemuliaan Allah bergantung pada kata-kata pujian dari manusia? Mazmur 150:2 memberikan dua alasan fundamental mengapa kita harus memuji Tuhan: Pertama, karena karakter Allah dan kedua, karena perbuatan-perbuatan besar Allah. Dua hal ini akan membuat kita tidak pernah berhenti memuji Dia. Kita harus memuji Tuhan oleh karena Allah Israel adalah Allah yang hidup dan Allah orang yang hidup. Dia bukan Allah yang mati seperti berhala-berhala, Dia adalah Allah yang distinctive, berbeda secara karakter dan tidak bisa disejajarkan dengan semua dewa dan ilah.
Pertama, Dia adalah Allah yang suci (Yesaya 6). Kedua, Dia adalah Allah yang berdaulat dan Maha kuasa (Mazmur 93). Ketiga, Dia adalah Allah yang penuh belas kasihan dan kemurahan (Mazmur 103). Keempat, Dia adalah Allah yang setia (Ratapan 3). Kelima, Dia adalah Allah yang transenden sekaligus Allah yang imanen (Mazmur 139). Allah kita bukan hanya Allah yang jauh di sana, tetapi Dia juga adalah Allah yang begitu dekat dengan kita. Orang karismatik salah menafsirkan bagian doktrin Allah ini, dengan terlalu menekankan Allah itu Allah yang dekat dengan kita. Namun mereka lupa bahwa Allah juga adalah Allah yang jauh berbeda dengan kita. Keenam, Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:16). Allah adalah kasih itu sendiri, bukan sekadar Allah mempunyai kasih. Karakter Allah adalah kasih ini adalah karakter Allah yang tidak ada pada ilah ataupun Allah lain di dalam agama mana pun juga di seluruh muka bumi. Allah yang adalah kasih hanyalah satu-satunya Allah sejati yang ada di dalam Yesus Kristus. Ketujuh, Allah adalah Allah yang mencurahkan Roh-Nya untuk memberikan kuasa kepada umat-Nya, untuk bersaksi memberitakan Injil sampai akhir zaman (Kisah Rasul 1:8, 2).
Hal yang kedua mengenai mengapa kita perlu memuji Tuhan, adalah karena kita mengingat akan perbuatan-perbuatan besar Allah yang dahsyat, yang telah Dia nyatakan di dalam sejarah. Pertama, kita memuji Tuhan karena Ia adalah Allah yang hidup, yang berbicara di dalam penciptaan melalui firman-Nya. Melalui perkataan-Nya segala sesuatu yang tidak ada menjadi ada (Kejadian 1; Mazmur 104). Kedua, kita memuji Tuhan karena Ia adalah Allah yang menebus dan membebaskan umat-Nya. Terutama Dia membebaskan Israel dari perbudakan Mesir (Keluaran 15; Mazmur 136), dan sekaligus di dalam Kristus Dia membebaskan umat-Nya dari perbudakan dosa dan maut (Yohanes 1:29; 2 Korintus 5:21; Roma 6:4). Ketiga, Dia adalah Allah yang berinkarnasi menjadi manusia, menjadi Juru Selamat kita. Dalam bagian ini, ada kesulitan besar di dalam agama-agama lain. Ketika agama berbicara mengenai Allah dan manusia, mereka selalu memahami bahwa Allah adalah Allah, manusia adalah manusia. Tidak mungkin ada pertemuan antara Allah dan manusia, apalagi Allah yang menjadi manusia. Kalau Allah menjadi manusia, maka keallahannya akan hilang, begitu juga sebaliknya.
Mazmur 150:3-5 kemudian mengajak kita untuk berpindah tema, dari tema mengapa memuji Tuhan, menuju kepada ajakan untuk memasuki ekspresi pujian dan ibadah yang penuh semangat, yang diwujudkan di dalam ekspresi yang penuh kreativitas, tidak sekedar meriah tanpa makna. Namun, penuh kegairahan dengan instrumen, dengan gerakan dinamis, dan dengan suara. Mazmur 150 mencatat bahwa ibadah bukan hanya ibadah yang tenang, teratur, dingin, dan abstrak. Ibadah bukan juga hanya berisi sensasi luapan emosi atau melampiaskan kebiasaan budaya tertentu. Di dalam Mazmur 150:3-5, yang tercatat adalah ibadah yang penuh kesadaran, meriah, dinamika, instrumen, dan suara; tetapi juga dengan penuh kesadaran untuk memberikan respons kepada kehadiran realitas Allah yang ilahi. Maka ibadah harus dengan kesadaran bahwa kita sedang berada di hadapan yang ilahi.
Semua instrumen yang dipergunakan di dalam ibadah seharusnya mewakili setiap faset kreativitas manusia yang menyatakan dirinya sebagai peta teladan Allah. Instrumen itu secara bersama-sama kemudian membentuk suatu simfoni ibadah, di dalam keteraturan dan ketertiban, yang memuji dan mengagungkan nama Tuhan Allah. Inilah ibadah yang benar kepada Tuhan. Ketika instrumen dipakai, itu bukan menjadi tempat memamerkan kehebatan seseorang. Bukan juga untuk memamerkan suara manusia supaya dipuji. Namun, semua instrumen, talenta, karunia, dan kreativitas diekspresikan untuk menyatakan kehadiran Allah dan kemuliaan Allah. Terutama mengekspresikan diri manusia sebagai peta teladan Allah. Dengan demikian, setiap orang yang hadir dalam ibadah dapat menikmati ibadah, suara, dan kreativitas di dalam skill bermusik sehingga setiap orang dibawa untuk memuji kebesaran Allah.
Pak Tong sering kali mengundang orang-orang berbakat untuk menyanyi atau main alat musik di kebaktian. Misalnya, beberapa waktu ini pak Tong mengundang seorang anak untuk memain biola di dalam kebaktian. Sehingga orang-orang sering kali salah mengerti. Namun, Pak Tong mengatakan, “Kalau kamu melihat anak ini bermain musik dengan skill seperti ini dan kamu masih mengatakan Allah tidak ada. Betapa bodohnya kamu! Karena ini adalah display dari kemuliaan Allah, peta teladan Allah, dan karunia dari Allah”.
Sampai sejauh ini, pemazmur telah membawa kita menjelajahi perjalanan. Dari ruang maha suci di Bait Allah menuju ke langit. Dari tiupan sangkakala hingga rebana. Dari perbuatan besar Allah hingga kebesaran-Nya yang luar biasa. Sekarang di dalam ayat yang terakhir, kita diperhadapkan kepada kemeriahan suara pujian yang melambung ke seluruh alam semesta. Ini bukan sebuah gambaran yang puitis tetapi ini adalah gambaran yang prophetic. Ayat ini menggemakan peristiwa kitab Kejadian 2:7, ketika Allah menghembuskan nafas hidup ke dalam hidung manusia sehingga manusia itu menjadi makhluk hidup. Ayat ini juga sekaligus mengantisipasi apa yang terjadi di masa yang akan datang di dalam kitab Wahyu 5:13. Segala makhluk yang ada di surga dan di bumi, bersama-sama memuji Anak Domba Allah dengan pujian yang kekal sampai selama-lamanya. Nafas bukan hanya tanda biologis, tetapi juga tanda teologis. Nafas adalah jejak dan tanda tangan Allah di dalam diri setiap makhluk hidup, termasuk manusia. Mazmur 150:6 ditutup dengan sebuah deklarasi tentang nafas, bahwa nafas diciptakan oleh Tuhan Allah hanya dengan satu tujuan, yaitu untuk memuji kebesaran Allah, sang pencipta dan sang penebus, Tuhan Allah atas seluruh alam semesta. Jikalau kita masih diberi nafas untuk hidup, itu hanya dengan satu tujuan, agar kita senantiasa memuji dan memuliakan Allah pencipta dan penebus kita.
Mazmur 150:6 bukan hanya sekedar ayat terakhir penutup dari satu bagian Mazmur, tetapi ayat ini juga adalah tarikan nafas terakhir dari seluruh pujian Mazmur. Ayat ini adalah panggilan, seruan, dan ajakan bagi setiap makhluk hidup. Ajakan bagi setiap generasi di dalam gereja. Ajakan bagi setiap orang percaya untuk senantiasa memuji dan memuliakan kebesaran Tuhan Allah. Biarlah Mazmur 150:6 menjadi Lobgesang (Hymn of Praise) kita. Di hari ulang tahun GRIIS ke-27 ini, kita tidak hanya merayakan satu penanda dari waktu, tetapi merayakan visi kerajaan Allah yang kekal. Kita tidak sedang merayakan keberhasilan dan pencapaian gereja kita, tetapi kita merayakan kehendak Allah. Sekaligus kita mencatat hutang Injil yang masih belum tuntas kita bayar. Selama 27 tahun ini, gereja ini dengan sangat limpah telah diberkati melalui firman Tuhan, melalui pengajaran doktrin, melalui nasihat dan dorongan baik di dalam pelayanan maupun penginjilan. Gereja ini juga sudah sangat diberkati melalui teladan hidup iman dan nafas hidup pelayanan yang tidak pernah lelah dan menyerah, yang terus berjuang bagi Injil dan kerajaan Allah. Yakni dari pendiri gereja ini, Pdt. Dr. Stephen Tong. Kiranya hal ini menjadi warisan pusaka bagi gereja ini. Pusaka yang akan terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Biarlah hari ini, setiap kita bersama-sama sehati berseru kepada seluruh alam semesta, “Pujilah Tuhan, besar anugerah-Nya, berkelimpahan tak terduga.” Segala kemuliaan hanya bagi Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus. Amin.