Download versi cetak: 1243_1416_KebaktianPagiSore_2025-21-Des
Bertobat dan Bersandar pada Tuhan
Yesaya 30:1-17
Pdt. Ivan Raharjo, M.Th.
*Ringkasan khotbah ini belum diperiksa pengkhotbah
Minggu lalu kita sedikit menyinggung tentang tradisi advent, yaitu masa-masa persiapan menjelang hari Natal. Advent mengingatkan kepada kita bahwa masa-masa Natal seharusnya menjadi momen yang serius. Yang mengajak kita berpikir tentang hal-hal yang mungkin sebetulnya tidak mengenakkan hati. Sebagai contoh, minggu lalu kita membahas Lukas 3, seruan Yohanes Pembaptis untuk kita bertobat. Teguran Yohanes Pembaptis yang begitu keras mengatakan, “Kalian orang munafik!” diberikan kepada umat Tuhan, kepada gereja Tuhan. Karena umat Tuhanlah yang menantikan kedatangan Kristus, Sang Mesias. Dan Yohanes Pembaptis sebagai orang yang ditunjuk untuk mempersiapkan jalan bagi kedatangan Mesias, dia bukan memberitakan sekedar kabar sukacita, tetapi kabar yang menegur, yang membongkar semua topeng yang dipakai oleh manusia. Dia mengatakan, “Setiap orang, kamu orang Yunani atau orang Yahudi kah, kamu ahli Tauratkah, semua harus bertobat.” Engkau menantikan kedatangan Mesias untuk menyelamatkan umat Tuhan? Itu baik, tapi jangan lupa Mesias datang memberikan keselamatan dengan cara menghukum dosa dan menghancurkan kejahatan dalam setiap hatimu. Maka engkau mau menyambut kedatangan Mesias, engkau harus bertobat.
Seperti apa bertobat itu? Yohanes mengatakan, “Pertobatan haruslah menghasilkan buah yang sesuai dengan pertobatan itu. Harus ada tindakan konkret yang dinyatakan.” Tidak cukup engkau sekedar merasa menyesal, tapi engkau harus berubah. Engkau yang egois harus berubah menjadi murah hati dan generous. Engkau yang serakah harus belajar menjadi puas diri dengan apa yang kau punya. Engkau yang dikuasai oleh hawa nafsu, maka biarlah engkau mengendalikan diri dan hidup dalam kekudusan. Engkau yang dikuasai oleh kemarahan, biarlah engkau belajar menjadi panjang sabar. Tidak ada keselamatan tanpa pertobatan. Kalau kita hanya mengatakan, “Aku mau terima Tuhan, aku mau terima Tuhan, tapi tidak ada pertobatan,” maka kita adalah orang-orang yang paling cilaka, karena kita mempermainkan Tuhan. Tidak ada orang bisa diselamatkan tanpa ada pertobatan yang sungguh-sungguh. Itu yang menjadi pembahasan kita minggu lalu. Minggu lalu kita juga sudah menyinggung sedikit bagaimana pertobatan itu sendiri tidak menyelamatkan kita. Setiap orang yang mau diselamatkan harus bertobat dan harus berubah.
Pada akhirnya yang menyelamatkan kita bukanlah pertobatan itu sendiri. Apa yang kita perlukan untuk kita bisa diselamatkan? Yesaya 30:15 dalam bahasa Indonesia dikatakan dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan. Dalam ESV dikatakan “In returning and rest you shall be safe.” Dalam versi NIV, NAS, King James dikatakan, “In repentance and rest is your salvation.” Dalam pertobatan dan di dalam rest, di situlah engkau diselamatkan. Apa yang menjadi konteks Yesaya 30? Ini adalah sesuatu kejadian pada abad ke-8 SM. Pada zaman itu Yudea atau Israel Selatan dipimpin oleh Raja Hizkia. Kekaisaran Asyur menjadi kekaisaran yang semakin hari semakin kuat dan mengancam keselamatan Yudea. Mereka adalah orang-orang yang kejam, orang-orang Niniwe membunuh musuh-musuhnya dengan begitu brutal dan keji. Maka Hizkia harus mengambil keputusan, siapa yang kira-kira bisa menolong Israel keluar dari tekanan bangsa Asyur. Jawaban yang dia temukan adalah Mesir. Mesir adalah negara yang sama-sama akan terancam jikalau Asyur semakin kuat. Tapi Mesir punya kuda-kuda yang kuat, kereta yang cepat, senjata dan pasukan yang banyak. Sebagai seorang pemimpin yang harus menjaga keamanan negara yang dia pimpin, keputusan yang cukup masuk akal dan bahkan bisa dibilang bijaksana dalam standar dunia adalah bersekutu dengan Mesir. Tetapi Allah menyebut tindakan bergabung dengan Mesir seperti adalah sebuah pemberontakan. Israel adalah bangsa yang seharusnya mendengarkan apa yang Allah katakan. Allah mengatakan banyak hal kepada Israel melalui begitu banyak nabi. Namun apa yang dikatakan oleh bangsa pemberontak ini? “Jangan menilik, jangan melihat, jangan cari vision dan mengajarkan kepada kami hal-hal yang benar. Tapi katakan kepada kami hal-hal yang manis, hal-hal yang semu.” Mereka hanya mau mencari comfort tanpa ingin mendengarkan apa yang benar. Mereka hanya mau mendengar apa yang enak. Hanya mau dipuji, hanya mau disayang, tapi tidak mau ditegur. Mereka tidak mau melihat kepada apa yang menjadi rencana Tuhan dan menantikan apa yang Tuhan janjikan. Mereka hanya mau mencari solusi dan jalan yang gampang. Mereka hanya mau bersandar kepada apa yang kelihatan, bukannya berpaling kepada Allah dan bersandar kepada Allah, mereka lari kepada Mesir. Dan itulah yang menjadi kebinasaan bangsa Israel. Dalam konteks seperti ini kembali ke bahasan kita tentang pertobatan.
Apa kaitan antara pertobatan dan bersandar pada Tuhan (repentance and rest)? Sepintas dua hal ini kelihatannya tidak nyambung satu dengan yang lainnya. Kalau kita bicara tentang pertobatan, sepertinya kerja keras. Kita harus ketat, disiplin, usaha. Sedangkan kalau dibilang rest, bersandar kepada Tuhan, kesannya kita belajar diundang untuk relaks, untuk istirahat sebentar. Bagaimana dua hal ini bisa nyambung? Tadi dalam terjemahan NIV, NASB, King James dipakai kata repent. Tetapi ESV menggunakan kata return. Dalam bahasa Ibrani dari kata dasar “suf”, yaitu berpaling, berputar kembali. Bertobat artinya berpaling kembali, panggilan untuk reorient, mengarahkan hidup kita kembali. Mengorientasi hidup kita kembali kepada Tuhan. Dan itulah, mengapa repent sangat dekat kaitannya dengan rest in God. Pertobatan yang sejati adalah ketika kita berpaling, mengfokuskan seluruh hidup kita yang paling mendasar kepada Tuhan. Panggilan pertobatan dalam kitab suci bukanlah kita melakukan banyak hal dengan begitu frantic, hectic dan seterusnya. Tetapi panggilan untuk datang kembali, pulang ke rumah kepada Tuhan.
Dlam kaitannya dengan Lukas 3, Yohanes Pembaptis memanggil orang untuk bertobat bukan untuk mereka membuktikan diri layak di hadapan Mesias. Yohanes memanggil kita bertobat untuk mempersiapkan hati kita menyambut datangnya Kristus Mesias. Karena bertobat itu artinya kita berpaling dari segala harapan yang palsu. Bertobat berarti kita membuang semua berhala-berhala palsu dalam hati kita. Dan mengarahkan hati kita kembali kepada pengharapan yang sejati, Mesias yang sejati, Tuhan yang sejati. Untuk bertobat kita berhenti mencoba mencari keselamatan dengan usaha kita sendiri, dengan cari pertolongan dari Mesir atau ilah-ilah palsu yang lain. Tapi kita datang kepada Tuhan. Bertobat berarti datang kepada Tuhan mengatakan, “Tuhan aku mau berubah.” Tapi aku tidak sanggup untuk berubah kecuali Tuhan sendiri yang mengubah aku. Ada kerinduan hati untuk berubah. Ada kesungguhan betul-betul mau berubah. Tetapi dengan kesadaran saya tidak mungkin bisa berubah kalau bukan Tuhan sendiri yang datang menolong. Hanya Tuhan yang sanggup menghancurkan dosa dalam hatiku.
Setelah beberapa waktu lamanya lewat, ketika Yohanes Pembaptis sudah membaptis Tuhan Yesus, memperhatikan pelayanan Tuhan Yesus dari jauh. Dia sendiri sempat merasa bingung, bukankah Tuhan Yesus adalah Mesias yang datang untuk menghakimi kejahatan, mengapa yang dia kerjakan sepertinya berbeda dari bayangan dia. Kenapa justru dia makan dengan pemungut cukai, wanita yang tidak baik dan seterusnya. Maka Yohanes Pembaptis menyuruh muridnya datang kepada Yesus bertanya, “Apa betul engkau Mesias itu?” Dan setelah Yesus memberikan jawaban, kita masuk dalam Matius 11: 28-30. Tuhan Yesus mengatakan, “Aku datang bukan untuk menghakimi dalam pengertian orang Yahudi pada umumnya zaman itu.” Tetapi Yesus datang untuk memberikan rest, kelegaan. Bagaimana Tuhan Yesus datang memberikan kelegaan kepada umat Tuhan. Apakah dengan mengatakan kepada pemungut cukai, kepada wanita berdosa, mereka sudah tidak usah pedulikan dosanya? Saya menerima kalian semua. Tuhan Yesus tidak mengatakan seperti itu. Dia mengatakan, “Aku akan memberikan kelegaan bagimu.” Tetapi bagaimana caranya? Caranya adalah pikullah kuk yang kupasang dan belajarlah padaku. Ayat 28 itu pasangannya adalah ayat 29. Tetapi sering orang mengutip ayat 28 tapi melupakan ayat 29. Apa itu kuk atau yoke? Dalam Perjanjian Lama kuk bisa menjadi gambaran seperti belenggu yang dimiliki orang Israel ketika mereka ditindas oleh Babel misalnya. Itu adalah semacam belenggu yang diberikan kepada Israel, ketika Israel menjadi budak dari bangsa yang menjajah, dan Israel harus melayani para penakluk mereka. Berarti kuk itu adalah sebuah beban untuk kita melayani seorang tuan. Tuan yang jahat seperti bangsa Babel, bangsa Mesir dan orang-orang yang menindas Israel. Tapi bisa juga tuan yang baik. Para rabi juga menggunakan istilah ini, kuk menjadi sebuah bentuk pelayanan mereka di hadapan Tuhan. Seorang rabi mengatakan, “Jikalau engkau ingin dibebaskan dari beban kuk, dari kuk yang adalah beban kekuatiran dunia, Maka engkau harus mengenakan kuk yang adalah Taurat Tuhan.” Kalau engkau mengenakan kuk beban yang adalah Taurat Tuhan, artinya engkau hidup melayani Tuhan, maka engkau akan dibebaskan dari kekuatiran dunia ini. Karena Tuhan adalah Tuan yang baik. Tetapi saudara sekalian, seperti Tuhan Yesus katakan dalam Matius 23, Tuhan Yesus mengkritik para ahli Taurat. Mereka mengatakan, “Engkau semua menaruh beban-beban yang berat di atas bahu orang lain, tapi mereka sendiri tidak mau melakukannya, tidak mau menyentuhnya.” Dalam pertemuan di Yerusalem, Petrus kemudian berkata kepada banyak orang Yahudi, “Kenapa kamu mencobai Allah dengan meletakkan pada tengkuk murid-murid itu suatu kuk yang tidak mungkin untuk dipikul? Nenek moyang kita sendiri dan kita sendiri tidak bisa memikulnya. Tapi kenapa kamu memakaikan kuk itu kepada murid-murid ini?” Yang Petrus maksudkan adalah ketika orang-orang Yahudi itu menuntut supaya orang-orang bukan Yahudi kalau mau jadi Kristen maka setidaknya mereka harus disunat dan harus makan makanan yang kosher. Dan bukan hanya itu, mereka mengubah Taurat Tuhan yang harusnya indah seperti Mazmur katakan, “Tauratmu itu seperti madu yang manis, seperti emas murni, sesuatu yang indah”. Namun Taurat Tuhan menjadi sesuatu yang begitu membebani, sesuatu yang meremukkan setiap orang yang mencoba menanggung bebannya. Misalnya, dalam merayakan Sabat, mereka mengatakan “kalau hari Sabat kamu tidak boleh tulis lebih dari tiga kata”. Karena kalau kamu tulis tiga kata itu sudah dihitung bekerja. Maka hari Sabat kamu cuma boleh tulis dua kata. Kalau kamu menerima makanan dari orang lain, yang sebetulnya orang yang kamu ragukan kekudusannya, kamu lebih baik berikan 10% sebagai persembahan buat Tuhan. Karena siapa tahu orang yang memberi itu tidak perpuluhan. Kalau dia tidak perpuluhan, nanti bisa-bisa dosanya ditransfer ke kamu.
Hari Sabat harusnya menjadi hari yang memberikan kesegaran, rest in God, tapi mereka dibikin takut dengan peraturan-peraturan. Sehingga ketika memasuki hari Sabat bukannya ada kelegaan, malah adanya ketegangan. Inilah beban-beban yang ditanggung oleh umat Tuhan yang Yesus katakan, “Engkau yang letih lesu menanggung beban seperti ini, datanglah kepadaku.” Beban, kalau kamu tidak melakukan semua hukum dan perintah ini dengan sempurna, maka Tuhan tidak akan mengasihi engkau. Tuhan tidak akan memberkati engkau, mendengarkan doamu dan akan membawa kamu ke surga. Hukum menjadi beban yang membuat kita menjalani hari ini penuh dengan rasa susah. Apakah saya cukup baik di hadapan Tuhan? Ketika umat Tuhan bergumul dengan hal ini, Yesus mengatakan, “Mari datanglah kepadaku.” Aku akan memberikan kelegaan. Tetapi dengan apa? Dengan menggantikan kuk yang engkau pikul itu dengan kuk yang sekarang kuberikan.
Kuk itu adalah semacam palang yang diikatkan di leher lembu, yang akan membebani leher dari lembu itu. Kuk yang kemudian akan digunakan untuk menarik beban atau melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Tapi yang menarik ketika kepada kita diberikan sebuah kuk, itu bukan sekedar kita diberikan beban. Kita di- attached dengan lembu lain di sebelah kita. Lembu yang akan sama-sama menopang beban itu bersama dengan kita. Para penafsir mengatakan ini juga adalah kuk yang diberikan kepada kita yang juga sama-sama ditanggung oleh Yesus di sebelah kita. Di zaman itu ya ketika seorang memutuskan, “Ah, ini ada guru yang hebat, rabi ini luar biasa hebat. Aku mau belajar dari dia.” Jika rabi itu mengatakan, “Baik, ikutlah aku.” Nah, itu dikatakan bahwa murid itu sekarang di-yoked, menjadi satu kuk dengan rabinya itu. Karena mengikut seorang guru berarti kita menjadi muridnya. Tinggal bersama dengan guru itu, melayani dia. Hidup di dalam komunitas murid-murid lain dari guru itu. Dan guru itu betul-betul mendominasi seluruh hidupnya. Apa yang dia katakan harus kita taati. Apa yang dia ajarkan kita dengarkan dan kita sungguh-sungguh kerjakan. Guru itu menjadi tuan dalam hidup kita. Seluruh hidup kita itu berpusat kepada apa yang guru itu mau kita kerjakan.
Ketika Yesus mengatakan, “Engkau mau mendapatkan kelegaan sejati, pikulah kuk yang kupasang.” Itu artinya kita dipanggil untuk menjadi murid Yesus. Di satu sisi, betul kita masih diberikan sebuah beban, bukan kemudian hidup ini sama sekali tidak ada beban. Ada beban yang Yesus berikan kepada kita. Di mana kita harus terus mendengarkan apa yang dia katakan. Mempelajari perkataan dalam Alkitab, mencoba hidup semakin hari semakin serupa dengan guru kita. Kita harus menjadi seorang yang seumur hidup mengikut Yesus. Yesus mengatakan beban atau kuk yang ringan, yang memberikan kelegaan. Karena itu juga adalah kuk yang sama-sama dipikul oleh Yesus. Ada Yesus di sebelah kita yang menanggung setiap beban hidup kita. Ada beban, tetapi kita tidak berjalan sendiri. Dalam zaman modern yang serba nyaman, kita pun masih ada beban hidup. Hidup yang penuh dengan restlessness. Bisnis kasur itu juga tetap masih laku, karena banyak orang susah tidur, sehingga mereka mencai kasur yang spesifik yang bisa membuat mereka tidur. Ketika kasur sudah tidak lagi menjadi jawaban, obat-obat antidepresi menjadi juga hal-hal yang laku di zaman yang serba nyaman ini. Manusia hidup di dalam satu dunia yang penuh dengan restlessness.
Kegelisahan yang membuat orang itu sepertinya tidak bisa merasa istirahat. Karena setiap orang dalam hidup ini punya beban. Tidak peduli saudara punya uang sebanyak apapun, setiap orang punya beban hidup. Pertanyaannya adalah dengan siapa saudara memikul beban itu? Kalau yang jadi andalan adalah kasur, obat-obatan, terapi, atau hiburan yang kadang membuat kita lupa dengan segala beban hidup kita untuk sesaat saja. Itu semua hal-hal yang tidak akan memberikan kita kelegaan yang sejati. Kelegaan sejati hanya kita dapat ketika kita memikul kuk yang Yesus berikan. Meski bukan berarti masalah kita menjadi jauh lebih ringan atau hilang, tetapi kita jadi lebih bisa menanggungnya. Karena kita ada Kristus yang berjalan bersama dengan kita. Kristus yang memberikan kepada kita pengharapan dan damai di hati. Saya tidak sendiri. Yang membuat kita mengatakan sekalipun ini begitu berat tapi yang penting saya berjalan bersama Yesus. Bahkan ketika beban itu terlalu berat untuk kita tanggung dan kita jatuh, kita tidak jatuh sampai sejatuh-jatuhnya. Karena ada Yesus yang masih menahan beban itu dan membuat kita tetap bisa berjalan selangkah demi selangkah.
Pertobatan yang sejati bukanlah langsung kita tidak melakukan dosa-dosa yang selama ini kita gumulkan. Kemauan sebesar apapun tidak mungkin cukup untuk kita bisa mengalahkan dosa. Tetapi yang bisa kita lakukan adalah kita reorient ourself. Kita return kepada Kristus. Kita menghadapi pergumulan dosa dengan berjalan bersama dengan Yesus. Kita berdoa kepada Dia, “Tuhan, aku tahu ini adalah dosa. Aku mau Tuhan menolong aku. Seberapapun aku berusaha jikalau Tuhan tidak menolong, tidak menyertai, tidak mungkin aku menanggung hal ini.” Ada orang-orang yang mengandalkan kekuatannya sendiri, lepas dari kecanduan dengan mengambil kebiasaan baru. Tetapi berbeda ketika kita melakukan hal itu dengan kekuatan kita sendiri atau dengan bersandar kepada Tuhan. Ketika kita melakukannya dengan bersandar kepada Tuhan, ada beban, tapi juga ada kelegaan, ada pengharapan, ada damai. Dalam buku Lord of the Rings, Bilbo salah seorang hobbit yang u urnya 111 tahun. Ia mempunyai sahabat bernama Gandalf yang adalah seorang wizard. Bilbo ingin kembali pergi berpetualang. Maka di hari terakhirnya sebelum dia pergi, dia mengadakan satu pesta yang mewah. Pesta ulang tahun 111, di mana tradisi mereka, yang berulang tahun yang memberikan kado kepada setiap orang yang datang. Dia memberikan hadiah sangat banyak, karena dia berpikir dengan demikian ia akan lebih mudah untuk melepaskan semua harta kesayangannya, yaitu cincin ajaib yang dia punya. Dia berjanji kepada Gandalf untuk meninggalkan semuanya khususnya cincin ajaib untuk keturunannya, yaitu untuk Frodo. Dia begitu susah untuk melepaskan cincin itu. Ketika dia akan meninggalkan rumah, dia berpamitan dengan Gandalf. Gandalf bertanya, “Sudah kamu tinggalkan semuanya? Cincinnya sudah kamu letakkan di tempat yang seharusnya?” Dia mengatakan, “Oh, ya, saya sudah taruh di amplop. Tunggu, tapi amplop itu masih ada di kantong saya.” Dan ketika dia kembali memegang cincin itu, dia mengatakan, “Kenapa saya harus tinggalkan cincin ini? Bukankah ini punya saya.” Bilbo bahkan mulai curiga, apakah Gandalf mau merebut cincin itu untuk dia sendiri. Dia mulai menjadi paranoid, pikirannya menjadi kacau sampai akhirnya Gandalf juga mulai marah. Bilbo shocked ketika Gandalf mulai marah, Bilbo mengatakan, “Saya juga tidak tahu mengapa saya tidak bisa made up my mind dalam hal ini.” Gandalf mengatakan, “Kalau kamu tidak bisa make up your mind then trust mine because my mind is made up. Saya tidak ada maksud jahat. Saya ingin apa yang baik bagi engkau.” Bilbo sangat terikat dengan cincin ajaibnya. Demikian dosa yang sangat sulit kita lepaskan dengan kekuatan kita sendiri. Bilbo jikalau dia harus meninggalkan cincin ini tanpa ada Gandalf, dia tidak mungkin bisa. Hanya ketika ada seorang sahabat yang memang dia percaya dan tidak ada maksud jahat dalam diri Gandalf, maka Bilbo mendapat pertolongan. Ketika akhirnya dengan berat hati Bilbo menaruh cincin itu, cincinnya hampir jatuh lalu dia coba tangkap tapi Gandalf dulu yang tangkap. Ketika Gandalf tangkap cincin itu, dia sedikit rasa marah. Tetapi tidak lama kemudian dikatakan dia merasa lega, akhirnya Bilbo mendapatkan kelegaan. Dia lepas dari attachment-nya kepada cincin yang terus menggoda dia. Karena dia memiliki sahabat yang kepadanya dia bisa bersandar, percaya, berpaling. Tentu Gandalf itu bukan Kristus dan itu hanya cerita. Tetapi ini menjadi gambaran keadaan hati kita yang seringkali begitu terikat dengan dosa di dalam hidup ini. Dosa yang ketika kita sadar ini tidak baik, ini sudah begitu mengendalikan hidup saya dan saya mau tinggalkan, tapi dengan kemauan kita sekuat mungkin, kita jatuh lagi dan jatuh lagi. Kita tidak bisa lepas dari dosa dengan usaha kita sendiri. Dosa itu mengubah cara pikir dan hati kita. Kita hanya bisa lepas dari dosa jikalau saya hanya mau percaya kepada Tuhan. Ketika kita melakukannya, kita mendapatkan kelegaan.
Soren Kierkegaard mengatakan dalam mencari kebahagiaan manusia itu biasanya melewati tiga tahap. Tahap pertama, aesthetic stage. Orang ingin mendapatkan kebahagiaan dengan cara mengejar mimpi dan memenuhi setiap hasrat yang ada. Tetapi tidak lama kemudian orang itu akan menemukan, ternyata itupun tidak memuaskan. Tidak peduli seberapa banyak uang, seberapa banyak wanita, seberapa banyak kuasa yang dimiliki, dia tetap tidak menemukan kepuasan. Dia merasa hidupnya begitu kosong dan begitu hancur. Maka biasanya orang itu kemudian mencoba masuk kepada tahap yang kedua, tahap ethical. Saya akan hidup dengan cara moralitas yang paling tinggi, cara yang paling benar. Dan mungkin untuk sesaat orang itu merasa hidupnya lebih agung, tahu apa artinya keadilan, kebenaran, dst. Tapi lama-lama juga merasa apakah hidup ini hanya seperti ini. Akhirnya menjadi hidup yang penuh dengan topeng yang seolah-olah kelihatan baik di depan banyak orang. Tapi dia sendiri tahu dalam hatinya tidak sekudus itu. Kebahagiaan sejati adalah ketika orang itu bisa memasuki tahap ketiga, tahap religious. Yaitu ketika dia berjumpa dengan Kristus, menemukan Injil dan melihat keindahan Allah. Ketika dia melihat hal yang suci, hal yang baik, hal yang adil itu bukan sekedar sebagai peraturan-peraturan yang benar, tetapi memang hal yang indah. Karena dia melihat Kristus yang sudah menjadi teladan yang sejati.
Seperti apa orang yang hidupnya menjalankan kehendak Bapa? Tidak mudah tetapi hidup yang indah. Rendah hati, berbelas kasihan, mengampuni. Itu adalah hal yang kelihatannya susah sekali untuk kita lakukan, tapi kita tahu baik. Karena kita melihat Kristus yang terlebih dahulu mengasihi kita, berbelas kasihan kepada kita, dan mengampuni kita. Inilah yang membedakan orang yang mencoba bertobat dengan kekuatannya sendiri, dengan orang yang bertobat dalam pengertian yang sesungguhnya, yaitu dia berpaling, melihat kepada Kristus. Kita berubah dan hidup lebih baik bukan sekedar dengan kemauan kita sendiri. Tetapi dengan melihat kepada Kristus, sadar kalau kita bisa berubah, inipun adalah anugerah dari Tuhan. Sekalipun memang ada momen-momen kita jatuh lagi. Kita teringat kepada Kristus yang di sebelah kita yang menanggung seluruh beban dosa kita di atas kayu salib. Setiap kali kita mau melakukan dosa yang sama, kita kembali berpikir apakah saya tega melakukan dosa yang sama. Kita tidak lagi berhenti melakukan dosa karena takut dihukum, tetapi kita berhenti melakukan dosa karena kita sadar: setiap dosa kita itu adalah dosa yang dipikul oleh Yesus dan kita tidak ingin melakukannya kepada Tuhan kita. Itulah pertobatan dan hidup bersandar kepada Tuhan. Natal mengingatkan kita bahwa keselamatan itu datang bukan karena usaha-usaha kita, tapi dengan kita bersandar kepada Kristus. Di dalam pertobatan dan bersandar kepada Tuhanlah engkau mendapatkan keselamatan. Dan keselamatan itu adalah keselamatan di dalam Tuhan kita Yesus Kristus.