Download versi cetak: 1241_KebaktianPagi_2025-7-Des
Eksposisi Matius (87): Pelajaran dari Matius 5
Matius 5
Pdt. Adrian Jonatan, M.Th.
*Ringkasan khotbah ini belum diperiksa pengkhotbah
Saudara-saudara kita telah menjalani eksposisi Matius 5 selama cukup lama. Bagi yang rutin hadir, materi ini mungkin sudah familier, sedangkan bagi yang baru, ini menjadi ringkasan yang bermanfaat. Pembahasan Matius 5 dimulai sejak Juni 2023, dengan hampir 30 khotbah yang menyingkap kekayaan firman Tuhan. Hari ini kita akan meninjau kembali beberapa poin penting. Dari awal kemudian bagian tengah yang menjadi poros atau penekanan seluruh bagian, seperti dalam kiasmus, yaitu ayat 13-22 tentang garam dan terang dunia serta hukum Taurat. Berikutnya contoh-contoh yang Yesus berikan, dan terakhir, bagian penutup ayat 44-48.
Secara keseluruhan, khotbah ini sangat penting, sebagai awal dari Khotbah di Bukit (Matius 5-7) dan dianggap paling berpengaruh di dunia. Bahkan tokoh-tokoh non-Kristen seperti Mahatma Gandhi, Leo Tolstoy, John Lennon, Friedrich Nietzsche, dan Dalai Lama menghargai Khotbah di Bukit. Kita tidak tahu apakah ini satu khotbah utuh yang Yesus sampaikan, atau koleksi dari banyak pengajaran yang dicatat Matius sebagai inti sari. Kemungkinan besar ini adalah kumpulan pengajaran bijak, mirip Analects Confucius atau Amsal Salomo, yang disusun menjadi karya besar. Orang zaman dahulu tidak mencatat kata demi kata seperti modern, melainkan merangkum inti sari yang bisa direnungkan lebih dalam. Dengan cara ini, setiap bagian khotbah menjadi kaya dan padat, sehingga ketika kita merenungkannya, maknanya terbuka dan menjadi sumber kekayaan rohani yang besar.
Jika kita melihat garis besar Matius 5 secara keseluruhan, kita dapat membaginya menjadi dua bagian besar. Bagian pertama berisi ucapan-ucapan bahagia yang kemudian ditutup dengan pernyataan bahwa kita adalah garam dan terang dunia. Bagian kedua dimulai dengan penjelasan Yesus mengenai sikap terhadap hukum Taurat, disertai detail dan contoh-contohnya, dan akhirnya ditutup dengan dorongan untuk menjalankan Taurat sebagai anak-anak Allah. Struktur ini membentuk sebuah kiasmus: bagian pembukaan menekankan bahwa yang mendengar adalah murid, dan bagian penutup mengingatkan bahwa mereka yang sungguh menghidupi ajaran ini adalah anak-anak Bapa di surga. Di bagian tengah terdapat inti penekanannya, yaitu identitas sebagai garam dan terang serta hubungan mereka dengan hukum Taurat. Secara garis besar, bagian pertama berbicara tentang being, karakter seorang murid, sedangkan bagian kedua berbicara tentang doing, apa yang dilakukan sebagai pengikut Yesus melalui ketaatan pada Taurat. Walaupun bentuk ini cukup teknis, melihat sekilas strukturnya membantu kita memahami penekanan utama dari pasal ini.
Saudara-saudara, saya melihat bahwa pengajaran ini bukan sekadar ajaran yang bisa diterapkan oleh siapa saja, tetapi adalah realitas hidup yang dialami oleh mereka yang sungguh mengikut Kristus. Meskipun banyak orang menghargai ajaran ini, Yesus tidak memberikannya kepada semua orang. Ketika orang banyak datang, Yesus justru naik ke bukit, dan yang mendekat kepada-Nya hanyalah murid-murid-Nya, mereka yang benar-benar rindu menjadi murid-Nya. Dan mereka dapat menjadi murid karena telah dilahirbarukan oleh Roh Kudus. Ketertarikan mereka bukan sekadar karena ajaran atau mukjizat, tetapi karena Roh Kudus menarik mereka. Mereka adalah anak-anak Bapa di surga, dan kepada merekalah Yesus menyampaikan pengajaran ini. Sebab tanpa kuasa yang dikerjakan oleh kelahiran baru, mustahil seseorang dapat hidup menurut pengajaran ini. Pengajaran Yesus ini seperti bernapas bagi kehidupan rohani. Hanya mereka yang telah dihidupkan oleh Roh Kudus yang bisa melakukannya, dan bagi mereka itu menjadi bagian dari hidup sehari-hari, seperti bernapas yang tak terpisahkan dari hidup. Orang yang belum dihidupkan mungkin kagum dengan ajaran ini, tetapi bisa cepat putus asa karena terasa muluk. Yesus mengajarkan ini kepada mereka yang sudah dibangkitkan oleh Roh, agar mereka menyadari apa yang telah terjadi dalam hidup mereka, mengenali karakter yang sesuai dengan kalimat-kalimat bahagia-Nya, dan terus diingatkan untuk tetap hidup sesuai dengan kebenaran itu.
Di dunia ini, karakter yang Yesus sebutkan sering kali tidak dihargai. Yesus berkata, “Berbahagialah orang yang miskin,” “orang yang berdukacita,” dan “orang yang lemah lembut,” yang bagi dunia justru terlihat lemah atau menyedihkan. Di dunia ini, orang yang tampak bergembira biasanya adalah orang kaya, yang bangga dan bersandar pada kekayaan mereka. Kegembiraan duniawi sering kali menolak kesedihan; hiburan dibuat untuk mengalihkan atau menutupi duka. Namun sebenarnya hiburan tidak menyelesaikan masalah atau dosa yang ada, baik dalam diri kita maupun di dunia. Kesedihan tetap ada, tetapi dunia menumpuknya di bawah permukaan dengan berbagai hiburan, musik, jalan-jalan, taman hiburan, sehingga orang merasa senang sementara masalah tetap tidak terselesaikan. Kegembiraan dunia sering hanyalah penutup bagi kesedihan dan pergumulan yang nyata.
Di dunia ini, kebahagiaan tidak dimiliki oleh orang yang lemah lembut. Orang yang lemah lembut sering kali ketinggalan kesempatan, kalah dalam perebutan, atau dianggap tidak mampu bersaing. Budaya dunia, seperti di Singapura, mengajarkan bahwa untuk mendapatkan sesuatu, seseorang harus kiasu; jika tidak, itu salahnya sendiri. Dunia menilai kesuksesan berdasarkan kecerdikan, kemampuan menyesuaikan diri, atau memutar kebenaran demi menang, bukan atas dasar kehausan akan kebenaran atau hidup suci. Orang yang mengikuti ajaran Yesus, yang miskin di hadapan Tuhan, berdukacita karena dosa dunia dan dosa diri sendiri, serta lemah lembut, sering merasa kalah dan gagal menegakkan kebenaran. Meski demikian, Yesus berkata, “Berbahagialah engkau.” Mereka yang hidup benar di tengah dunia yang penuh pergumulan dan tekanan adalah yang sebenarnya memiliki bumi ini di mata Tuhan. Mereka yang tidak meniru cara dunia akan tetap dikasihi dan diperhatikan Tuhan, serta menerima penghargaan-Nya. Meski dunia tampak menekan dan tidak adil, perhatian dan kasih Tuhan tetap tercurah bagi mereka.
Pada akhirnya, ketika kita mencoba benar-benar menghidupi karakter-karakter yang diajarkan Yesus, kita menyadari betapa sulitnya. Terkadang kita merasa karakter ini hampir mustahil untuk dihidupi manusia biasa; mungkin hanya malaikat yang bisa melakukannya. Dalam pergumulan hidup, kita sering gagal mencontoh karakter ini sepenuhnya. Namun, ketika mencari teladan yang sesungguhnya, kita menemukan satu manusia yang sempurna menghidupi semua karakter itu: Yesus sendiri. Dia bukan sekadar mengajarkan ajaran muluk, tetapi benar-benar mencontohkannya dalam hidup-Nya. Yesus miskin di hadapan Allah, rendah hati, tidak mengandalkan kekayaan atau kebesaran diri. Meski Dia adalah Allah, sebagai manusia Dia tetap bergantung pada Allah Bapa, memelihara relasi dengan Tuhan, dan setiap pagi datang berdoa, menjadikan doa sebagai sumber kekuatan rohani-Nya. Yesus menjadi model nyata yang dapat kita teladani dalam menjalani hidup ini.
Di dunia ini, Yesus menjadi teladan orang yang berduka. Catatan tidak menyebut apakah Dia pernah tertawa atau menikmati hiburan, tetapi yang jelas Dia merasakan dukacita karena melihat dosa dan orang-orang yang terperangkap olehnya tanpa sadar. Dia lembut, tidak menekan orang lain, dan tetap menginginkan agar kebenaran ditegakkan meski dunia menekannya, bahkan sampai Dia sendiri teraniaya karena Dia adalah kebenaran itu. Dari pengalaman-Nya, Yesus berkata kepada pengikut-Nya, “Berbahagialah kalau engkau teraniaya untuk kebenaran. Berbahagialah engkau kalau engkau teraniaya, kalau engkau mengikuti Aku.” Kata-kata ini bukan sekadar ajaran kosong, melainkan berasal dari hidup yang benar-benar dijalani-Nya sebagai manusia. Dia mengalami penganiayaan tanpa menggunakan kuasa ilahi untuk menghindarinya atau menghancurkan penganiaya. Ini menunjukkan bahwa pengikut-Nya pun bisa meneladani-Nya. Dengan menjalani semua sebagai manusia, Yesus menjadi pemimpin yang dapat kita ikuti, mendorong kita untuk hidup seperti yang Dia hidupi.
Setiap kalimat dalam perkataan bahagia Yesus membentuk satu kesatuan yang utuh; bukan sesuatu yang bisa dipilih-pilih sesuai keinginan kita. Menjadi pembawa damai, lapar dan haus akan kebenaran, lembut, atau miskin bukanlah hal terpisah. Semua saling menumpuk dan membentuk karakter yang dibutuhkan untuk hidup bersama Tuhan dalam kekekalan. Mereka yang miskin di hadapan Tuhan juga berduka karena menyadari dosa diri dan dunia, dan kesadaran itu membuat mereka lembut terhadap pergumulan orang lain. Dari sini, muncul kerinduan akan kebenaran, bukan rasa benar sendiri yang menghakimi orang lain. Karakter-karakter ini penting, karena hidup kekal bersama Tuhan hanya bisa dijalani dengan memilikinya. Bayangkan jika di surga kita tetap sombong, kiasu, atau menutupi pergumulan dengan hiburan. Maka itu bukan surga, tapi neraka. Karena itu, ketika melihat karakter-karakter ini dalam diri kita, kita perlu menghargai dan memeliharanya. Inilah karakter yang akan menyertai kita di kekekalan, dan segala kerinduan akan kebenaran akan dipuaskan di hadapan Tuhan.
Yesus menutup bagian ini dengan mengatakan, “Kamu adalah garam dan terang dunia.” Menariknya, Dia tidak berkata “kamu harus menjadi,” tetapi menegaskan, “kamu adalah,” menunjuk pada mereka yang telah hidup dalam karakter-karakter yang Dia ajarkan sebelumnya. Yaitu orang-orang yang miskin di hadapan Tuhan, berduka, lembut, lapar dan haus akan kebenaran. Hidup dalam karakter ini menjadikan mereka garam dan terang di dunia, yang esensial untuk mencegah kebusukan dan menerangi kegelapan. Tanpa orang-orang seperti ini, dunia akan menjadi busuk dan dunia akan terus berada di dalam kegelapan. Garam bukan sekadar untuk rasa, tetapi untuk menjaga dari kebusukan, sedangkan terang atau pelita bukan sekadar gemerlap, tetapi memungkinkan orang melihat dalam kegelapan. Meski kecil dan sering diremehkan, garam dan pelita sangat penting. Ketidakhadiran garam dan terang akan membuat kita menyadari betapa berat dan rusaknya dunia tanpa mereka. Mereka yang berada di dalam Kristus yang mungkin tidak dihargai atau dianggap penting oleh dunia. Namun, kehadiran mereka sangat menentukan agar dunia tidak segera membusuk dan tidak semakin tenggelam dalam kegelapan. Saat berdiri untuk kebenaran, mereka mungkin dicemooh, tetapi dunia baru menyadari betapa pentingnya keberadaan mereka ketika kebenaran tetap tegak karena mereka ada. Dari sini, kita belajar bahwa ketika menghidupi karakter-karakter yang Yesus ajarkan, meski terasa tertekan dan sulit di dunia, kita tidak boleh putus asa. Justru kehadiran kita yang hidup dalam karakter ini sangat krusial bagi dunia.
Saya teringat film Lord of the Rings. Menariknya, tokoh utama bukanlah yang gagah atau elitis, seperti elf atau manusia perkasa, tetapi hobbit, makhluk kecil, bukan dwarf yang mengejar emas. Hobbit hidup sederhana, tenang, dan polos, tanpa ambisi. Justru karena kesederhanaan dan kemurnian mereka itulah, pengarang menggambarkan bahwa merekalah yang mampu menjadi solusi di tengah kekacauan dunia. Sepanjang cerita, hobbit memegang cincin yang bisa memberi kekuasaan, tetapi mereka terus digoda untuk menggunakannya. Tantangan mereka adalah tetap menjaga kemurnian dan kesucian hati, tetap hidup sebagai hobbit tanpa mengandalkan kekuatan atau kekuasaan.
Bagian kedua yang penting adalah sikap Yesus terhadap hukum Taurat, yang saling melengkapi bagian pertama tentang karakter atau being. Bagian pertama menunjukkan siapa kita di dalam Kristus, yaitu orang-orang yang miskin di hadapan Tuhan, berduka, lembut, lapar dan haus akan kebenaran. Bagian kedua menunjukkan doing, yaitu bagaimana hidup kita dijalani dalam tindakan nyata melalui hukum. Yesus menegaskan, “Aku datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat.” Menjadi pengikut Kristus tidak membebaskan kita dari menjalani hukum, tetapi justru memanggil kita untuk hidup di dalamnya. Di dunia ini, kita sering ditarik ke dua arah yang ekstrem: legalisme, yang terlalu menekankan aturan, dan antinomianisme, yang mengabaikan hukum. Bagian ini menekankan keseimbangan dan kesetiaan dalam menjalani hukum sebagai wujud hidup yang sesuai dengan karakter yang Kristus ajarkan.
Legalisme adalah sikap menekankan hukum secara lahiriah, seperti yang dilakukan orang Farisi, tetapi tanpa menghidupinya dalam hati. Mereka memanipulasi hukum sehingga menjadi tekanan bagi manusia. Sebagai reaksi, muncul arus antinomian, yang menolak hukum sama sekali, menganggap semua hukum hanyalah manipulasi manusia. Dunia sering bergelut antara dua arus ini: menekankan hukum tanpa hati, atau menolak hukum demi kebebasan. Yesus berbeda dari keduanya. Dia bukan ekstrem legalis maupun antinomian, dan Dia mengajarkan inti serta sikap yang benar terhadap hukum. Yesus tidak overrighteous, tidak menempatkan kebenaran di atas manusia untuk memanipulasi hukum, tetapi menghidupinya secara benar. Prinsip pertama yang Dia ajarkan adalah kita tetap hidup di dalam hukum tetapi bebas dari cengkeraman maut dan hukuman. Hukum harus dihargai, karena selama langit dan bumi belum lenyap, satu pun hukum tidak akan dicabut. Hukum menjaga keteraturan dan kelanggengan hidup, baik di dunia ini maupun di kekekalan.
Singapura dikenal sebagai negara dengan hukum yang sangat ketat, dan justru dalam keketatan itulah kita menemukan kebebasan sejati. Tanpa hukum, kebebasan individu akan saling bertabrakan. Seperti lampu merah yang diabaikan, semua orang maju seenaknya, dan akhirnya terjadi kekacauan. Hukum menjaga keteraturan dan kelangsungan hidup, dan prinsip ini tetap berlaku bahkan di dunia yang baru. Di langit dan bumi yang baru, hukum tetap ada. Tetapi dijalani dengan sukarela dan sukacita dan bukan sebagai beban. Kita tidak hidup di bawah hukum untuk keselamatan, karena keselamatan bukan diperoleh dengan menaati hukum, melainkan bersandar kepada Tuhan. Jika menaati hukum semata untuk mendapatkan keselamatan, itu adalah sikap munafik, seperti yang terjadi pada orang Farisi. Yesus datang membebaskan kita bukan dari hukum itu sendiri, tetapi dari hukuman akibat pelanggarannya. Kristus telah menanggung akibat pelanggaran hukum sehingga kita bisa hidup bebas dari tekanan hukuman, sambil tetap menghargai dan menjalani hukum dengan benar.
Yesus membebaskan kita dari cengkeraman hukum, sehingga iblis dan maut tidak bisa menggunakan hukum untuk menakut-nakuti atau mencengkeram kita. Seperti yang Paulus katakan, “Hai, maut di manakah sengatmu?” Artinya akibat pelanggaran hukum dan kematian tidak lagi menakutkan bagi kita. Hubungan kita dengan hukum berubah, bukan ketakutan, melainkan penerimaan dan penghargaan. Dalam diri Yesus, kita melihat hukum dihidupi secara sempurna; Dia tidak melanggar satu pun hukum, dan melakukannya sebagai manusia, bukan sebagai Allah. Ini menunjukkan bahwa manusia bisa menghidupi hukum dengan benar. Yesus juga menaati hukum sipil dan hukum seremonial, termasuk aturan penyembahan dan korban, menjadi imam, korban, dan pemimpin dalam menyembah Tuhan. Semakin kita mempelajari hukum-hukum ini, semakin kita memahami dan menghargai Yesus, serta menyadari bahwa hukum-hukum itu terkait erat dengan hati, bukan sekadar aturan lahiriah.
Tuhan memberikan hukum secara sederhana: jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri. Namun, untuk benar-benar memahami hukum ini, dibutuhkan hati yang sungguh ingin menghidupinya. Yesus mengajarkan arti sejati dari hukum, bukan sekadar kata-kata tertulis, tetapi yang ada di dalam hati. Marilah kita memahami the heart of the law dan menjadikannya the law of the heart. Misalnya, hukum jangan membunuh bukan hanya melarang mengakhiri hidup orang lain, tetapi menuntun kita untuk menghargai dan mengembangkan hidup yang diberikan Tuhan. Hidup bukan sekadar bertahan atau mengejar kepuasan pribadi, tetapi bagaimana hidup kita menjadi berkat bagi banyak orang. Dengan demikian, hidup yang kita kembangkan, yang kita pupuk, dan yang menghidupi orang lain itulah yang menyenangkan hati Tuhan.
Hukum Tuhan seharusnya menjaga hati kita, bukan sekadar mengatur kelakuan luar. Dosa bermula dari hati, dan Yesus mengajarkan agar hukum menuntun kita mengendalikan hati, bukan hanya tindakan. Misalnya, larangan jangan membunuh tidak hanya menghalangi tindakan fisik, tetapi juga menentang kebencian dan dendam dalam hati. Mengucapkan kata-kata yang merusak atau menimbulkan benci, walau tidak membunuh secara fisik, sudah melanggar prinsip hukum karena hati kita dipenuhi kebencian. Contoh lain termasuk jangan berzinah, jangan bersumpah palsu, dan hukum pembalasan. Semua ini menunjukkan bagaimana dosa memengaruhi seluruh tatanan hidup manusia. Namun Yesus tidak hanya menekankan tekanan hukum. Dia memberikan lebih dari sekadar standar hukum, Dia memberi kuasa Kerajaan Surga, yang memungkinkan kita melampaui ketaatan lahiriah. Dengan kuasa itu, kita tidak hanya menuntut keadilan, tetapi juga mampu mengampuni mereka yang melukai kita, menunjukkan bahwa kuasa sejati bukan untuk membalas, melainkan untuk mengasihi dan memelihara hati yang murni.
Orang yang tidak membalas dapat terbagi dua. yang pertama karena lemah dan tidak berani membalas. Yang kedua jauh lebih kuat, meski mampu membalas, ia menahan diri. Inilah kuasa Kerajaan Surga yang Tuhan ingin berikan yaitu kemampuan menahan diri dan mengalahkan kebencian. Kuasa ini menghentikan penyebaran kegelapan; di surga, kebencian tidak bisa menular. Berbeda dengan dunia, di mana kebencian mudah menular seperti satu orang ditekan lalu dia menekan orang lain. Orang yang memiliki kuasa Kerajaan Surga, ketika ditekan, tidak menekan balik tetapi mengampuni penganiaya mereka, bahkan mendoakan agar hati orang itu berubah. Inilah kuasa yang Tuhan ingin kita miliki. Bagi mereka yang berada dalam Kristus, pengajaran ini menjadi panduan hidup, dan kita rindu agar kuasa ini nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebelum mengakhiri, kita melihat pentingnya membedakan antara hukum dan Injil. Keduanya tetap diperlukan sebagai orang Kristen. Memahami hukum membantu kita bertindak benar di dunia publik, menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa memaksakan Injil secara langsung. Misalnya, seorang Kristen yang bekerja sebagai pemerintah, pedagang, atau profesional harus menerapkan prinsip kebenaran dan keadilan dalam kebijakan dan aturan, sebagaimana terlihat di beberapa kebijakan pemerintah Singapura yang dijalankan dengan baik oleh orang-orang Kristen yang ada di dalamnya. Di sisi lain, hubungan pribadi, dengan keluarga atau di gereja, dijalani melalui tuntutan Injil: mengampuni, berbelas kasih, dan memiliki pengharapan di dalam Tuhan. Meskipun hukum tetap menuntut konsekuensi bagi pelanggar, secara pribadi kita diajak untuk bersikap penuh kasih dan menghidupi pengampunan yang diberikan Allah.
Yesus menutup seluruh bagian ini dengan motivasi yang mendalam. Kita hidup dalam hukum bukan karena terpaksa, untuk dilihat orang, atau karena ketakutan, tetapi karena kita adalah anak-anak Bapa di surga. Seorang anak ingin menjadi seperti bapaknya bukan karena paksaan, melainkan karena identitas dan hubungan dengan bapanya. Demikian pula, orang yang menghidupi karakter dan hukum Yesus bukan karena menekan diri sendiri, melainkan karena Roh Kudus telah menumbuhkan kerinduan itu dalam hati mereka. Mereka telah menerima kuasa Kerajaan Surga dan karakter-karakter dari kalimat-kalimat bahagia, sehingga tinggal dikuatkan untuk menghidupinya dengan sungguh-sungguh dan sukacita. Pengajaran ini menjadi fondasi sebelum kita masuk ke Matius pasal 6, yang membahas sikap dalam kegiatan rohani seperti memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa. Semoga kita dipimpin Tuhan untuk melihat keindahan dan kedalaman pengajaran Yesus ini.